logo-baru-2logo-baru-2logo-baru-2logo-baru-2
  • Home
  • Pustaka Kopi
  • Shop
  • Tentang Kami
  • Hubungi Kami
  • Cek Resi
0
  • Home
  • Blog
  • Pustaka Kopi Sastra
  • Seperti Aroma, Asmara pun Ingin Dimengerti (3)
Seperti Aroma, Asmara pun Ingin Dimengerti (2)
12 Desember 2020
Caramel Day with Suhrawardi
Caramel Day with Suhrawardi
9 Januari 2021

Seperti Aroma, Asmara pun Ingin Dimengerti (3)

Published by M Taufan Musonip on 6 Januari 2021
Categories
  • Sastra
Tags
  • 80 Derajat Celcius
  • barista
  • V60

80 derajat Celcius

Ia mahasiswa teknik kimia, tentu paparan-paparan eksakta dalam buku tersebut tidak asing dan justru mengasyikan.

Lucky mengajak Neneng bersepeda. Dan keduanya mengajak Ria dan Asep. Lucky akan mengikat sepeda di belakang mobil dengan braket yang baru dibeli dan dipilihkan oleh Lucky di online shop. Menunggu hari untuk acara itu membuat Neneng cukup tak sabar dan agak degdegan. Waktu yang akan dia lalui cukup panjang untuk mengenal laki-laki yang diam-diam telah ia taksir.

Dua hari yang lalu Neneng menemuinya di Lucky Café bersama Asep dan Ria. Asep menyukai ide menelusuri tempat pertama kali kopi berhasil dipanen di pulau Jawa tepatnya di Cianjur. Ia seorang pecinta alam dan pendaki gunung, memiliki kepentingan pendalaman perubahan lahan perkebunan di Jawa Barat. Sedangkan Ria memang hobi bersepeda. Neneng agak terlihat malu-malu dengan acara itu, dia tidak punya kepentingan apa-apa selain menawarkan mobilnya untuk mengangkut sepeda. Mobilnya yang diberikan ayahnya adalah mobil Innova. Jadi cukup lega, meski Lucky tetap menginginkan sepeda digantung di belakang bodi.

Lucky membuka buku sejarah kopi karangan Jan Breman. Ia berdiskusi dengan Asep yang tahu peta pegunungan, titik yang kira-kira sesuai untuk mulai ditelusuri.

Waktu itu pagi hari, gerimis. Lucky Café semakin bertambah pelanggannya, laki-laki yang belakangan diketahui oleh Neneng ternyata orang Sunda juga ini, berencana menambah pelayan. Ternyata ia memang penggemar puisi Chairil Anwar, kemungkinan panggilan nona kepada Neneng memang terinspirasi dari penyair itu. Dalam hati anak perempuan ini berencana akan menepis dan protes jika ia dipanggilnya lagi nona.

Niat menambah pelayan, adalah karena kafenya harus menyambut pelanggannya. Tapi kemungkinan ia akan merekrut seorang barista. Dan ia berencana membuka sayembara barista di kampus. Penambahan staff di kafenya karena Lucky sudah harus berbaur dengan pelanggan. Dan juga mengatur jadwal dengan investor dan jaringan aktifis kopi. Ia mengaturnya sendiri, tanpa memikirkan untung terlebih dahulu, ia sangat mencintai kopi.

Pada saat mereka berkumpul, tiba-tiba Neneng merasa harus memesan kopi hitam dan sepotong kroisan. Arnita ia panggil, ia memilih kopi Manglayang yang diseduh V60. Lucky terlihat senang, ia merasa berhasil mempengaruhi Neneng menyukai kopi hitam. Tapi tidak sepenuhnya benar. Neneng memesan kopi hitam benar-benar tanpa dorongan eksternal. Saat Lucky beberapa hari lalu menyuguhinya kopi memang ada rasa tertinggal di lidah yang membuatnya ingin mencecap kopi kembali. Dan setelah membaca buku enam ratus halaman yang ditulis Lucky memang ia sadar kopi itu memang unik. Ada pembicaraan sains eksak sederhana dalam kopi dan budaya masyarakat. Ia mahasiswa teknik kimia, tentu paparan-paparan eksakta dalam buku tersebut tidak asing dan justru mengasyikan.

***

Ia mendekati Arnita, saat tarian ritual kopi mulai dimainkan. Neneng menjauhi kebersamaan kawan-kawannya.  Mendengarkan dari jauh dan menghirup aroma kopi yang menggiurkan.

“Suhu 80 derajat celcius akan membuka rasa kacang-kacangan dan buah-buahan,” Arnita membuka keakraban.

“Aku bisa mencoba menyeduhnya sendiri?” Ide ini sudah ia bekal sejak beberapa hari. Tapi ia masih saja sungkan mendatangi Lucky café. Menunggu Ria mengajaknya, meskipun akhirnya Neneng yang mengajak sahabatnya itu.

“Boleh saja,” Arnita tersenyum. Tetap urusan memindahkan biji kopi ke mesin penggiling masih harus ditanganinya, menurutnya ini bagian sangat penting, orang harus belajar teorinya terlebih dahulu. Sebagai pemula Neneng mengerti itu. Ia hanya ingin menyeduhnya.

30 gr kopi untuk 450 ml air. Hasil seduhan kopi nanti akan disebut Yield. Yield ini berhubungan Total dissolved solid yang bisa diukur dengan spektrofotometer untuk menentukan kepekatan kopi. Neneng bisa saja mengambil beberapa sampel kopi untuk ia teliti di lab kimia dasar. Tapi kali ini untuk apa? Ia tersenyum dalam hatinya, ia hanya ingin menikmati kopi seduhannya sendiri, itu saja.

Arnita mulai memberi panduan. Bahwa 30 detik pertama sekitar 30 persen air seduhan masuk, penyeduhan harus jeda. Untuk memastikan terjadinya pelepasan karbondioksida. Saat itu memang larutan kopi seperti sedang menggeliat. Menari eksotik. Melengkapi ritual tarian yang biasa didendangkan Arnita saat menyeduh kopi, dengan latar musik jazz. Kenapa karbondioksida harus dilepaskan pada tigapuluh detik pertama? bukankan karbondioksida ini adalah satu-satunya pembentuk aroma kopi? bagaimana jika dibandingkan dengan menyeduh kopi tanpa jeda 30 detik pertama, dan mengusahakan tidak terjadi blooming. Neneng tertawa sendiri, pekerjaan menyeduh kopi ternyata membuatnya harus berpikir perbandingan.

Setelah 30 detik pertama, air seduhan dituang semua secara kontinyu dan perlahan dengan cara memutar, seperti memutarnya tarian darwis Rumi. Lalu selama 3 menit ia mulai boleh mencicipi si hitam. Arnita kemudian menjelaskan, bahwa ada metode seduh lain selain kontinyu yaitu metode seduh jeda. Dalam metode seduh jeda seperti itu, ia dapat mengontrol rasa kopi. Neneng memintanya membuatkan, sebelum akhirnya kembali ke meja tempat kawan-kawan bercengkrama.

Lucky menatapnya sambil tersenyum. Neneng akan menampilkan wajah judesnya jika ia memanggilnya nona. Satu timpus kopi lengkap dengan cangkirnya ia taruh di hadapan kawan-kawannya.  Ia seperti sedang dibaiat oleh Lucky, masuk ke dalam dunia hitamnya. Sementara tersenyum kearah Ria yang masih hanya bisa menikmati kopi susu bergula merah itu.

Apakah Arnita cemburu karena menganggap Lucky mulai dekat dengan Neneng?

“Kalian sudah pacaran?” Ria tertawa genit. Wajah Neneng menghangat. Lucky tertawa.

“Dia sudah menjadi anggotaku!” Tatap Lucky kepada Neneng bagai menawan.

“Inti budaya minum kopi adalah kopi hitam,” Neneng membalas.

“Dia sedang membaca bukuku,” Lucky bangga.

“Pertanyaanku, hanya… apakah kalian sudah pacaran?” Ledek Ria. Melihat sahabatnya sudah seintens itu.

“Kalian harusnya tanya kapan kami menikah?”Pertanyaan itu bagai sindiran kepada Ria yang sedang merencanakan pernikahan dengan Asep.

Di kala keempatnya riuh dalam tawa. Di balik meja bar terdengar suara pecahan gelas. Lucky segera menuju sumber suara diikuti Neneng dan Ria. Satu cup besar kapucino pecah berserak di lantai.

“Kamu memecahkannya?” tanya Lucky agak berang.

Arnita terdiam seperti sedang kesal.

***

Arnita adalah mahasiswi jurusan ekonomi yang drop out, entah karena alasan apa. Sangat mencintai petualangan dunia kopi. Jadi anak perempuan ini bukan anak pelayan kafe biasa. Dia seorang barista laduni, begitu Lucky kerap menyebutnya. Keduanya bertemu pada sebuah acara komunitas aktifitas kopi. Setelah peristiwa mug kapucino yang pecah, ia menjadi pemurung. Dan pamit pulang terlebih dahulu sebelum jam kafe tutup dengan wajah ketus kepada Lucky.

Mug yang dipecahkan Lucky cukup mahal. Asep menganggap Arnita pekerja biasa. Dan merasa Arnita harus mendapatkan hukuman. Tapi Lucky membela. Menurutnya ia bukan pelayan biasa. Ia seorang barista yang menyeduh kopi selalu dengan sepenuh jiwanya. Apakah Arnita cemburu karena menganggap Lucky mulai dekat dengan Neneng? Itu menjadi perhatian Neneng.

Tapi tak terlalu jadi pikiran. Saat diskusi bubar, ada beberapa pelanggan datang. Neneng membeli alat seduh V60, kertas rebas dan gilingan tangan merek Comandante, tapi harus indent. Ia memilih gilingan itu karena rekomendasi teknis dari Lucky, harganya jauh lebih mahal dari gilingan tangan yang dimiliki si penjual.

Lucky melayani pelanggannya sendirian setelah ditinggal Arnita.

Di kamar kos, Neneng kembali menyeduh kopi. V60 sudah ia beli dengan kopi yang sudah digiling. Lucky Café belum memiliki mesin sangrai. Ia membeli kopinya dari seorang penyangrai besar di Bandung. Selain melayani orang minum kopi, Lucky Café menjual kopi biji yang ia pajang di rak, Lucky dan Arnita rajin memindahkan kopi kemasan ke area depan, area belakang di isi dengan kopi kemasan yang baru. Ini salah satu antisipasi agar kopi senantiasa segar ketika dibeli pelanggan. Tapi perhatian Neneng bukan itu, sekarang ia merasa cemburu kepada Arnita. Pasti ia lebih menyukai perempuan pecinta kopi juga.

Tapi sore itu kopi yang dicecap masih bebas dari dorongan eksternal. Neneng benar-benar mulai menikmati kopi hitam tanpa gula. Kini neneng merasakan selalu ada rasa yang tertinggal di lidah setiap kali mencicip kopi. Tak ada Lucky dalam setiap cecap kopinya, ia benar-benar menikmatinya. Ia taruh cangkir kopi di mejanya dan ia mulai membuka novelnya, tapi ia merasa harus membaca buku 30 Menit Paling Menentukan, walau akhirnya memilih novel detektifnya.

Sehabis salat magrib, Neneng masih harus menuangkan kopi ke dalam cawannya. Rasanya berbeda, dan lebih nikmat, ia merasa mendapatkan rasa seperti kacang dan aroma buah nangka. Suara pesan dalam ponselnya berbunyi, Asep membuat grup Whatsaap Pelesir Kopi. Lalu ia membagikan dokumen, di antaranya bahwa kopi pertama kali ditanam di Kedawung Batavia, sekarang nama daerah itu disebut Pondok Kopi di Jakarta. Namun VOC gagal membudidayakannya, lalu pindah ke Cianjur dengan bibit pohon kopi dari Malabar India, dan berhasil. Bupatinya kala itu pada abad 19 Wiratanu III berhasil menyetor hasil panen terbesar daripada kabupaten lainnya dan mendapatkan hadiah wilayah kekuasaan. Artikel itu menyebutkan Jampang dan Segara Kidul. Jadi Asep belum menemukan titik awal penanaman kopi pertama di pulau jawa setelah Kedawung.

Lucky menambahkan artikel dalam buku Jan Breman, buku itu berjilid warna hijau. Judulnya sangat panjang dan malas untuk diingat oleh Neneng. Yang jelas malam itu Lucky mengetik kutipan panjang dari buku orientalis asal belanda itu, tapi yang dapat ditangkap oleh Neneng hanya soal penduduk Priangan yang awalnya berprilaku nomaden dipaksa hidup menetap dengan adanya tanam paksa kopi di Priangan.

Neneng meneruskan menikmati kopinya dan membaca novel detektifnya sebelum pesan pribadi berbunyi untuknya, Lucky mengajaknya bersepeda di hari minggu tanpa harus menunggu acara yang dicanangkan kami berempat sebelumnya. Neneng tidak meresponnya langsung, tapi ia tentu senang mendengarnya.

Walau ia selalu waspada dengan ajakan laki-laki yang membawanya pergi seorang. Ini pesan ayahnya yang tak dapat ditawar. Olehnya malam itu ia tidak langsung meresponnya. (*)

 

 

 

Share
0
M Taufan Musonip
M Taufan Musonip
Redaktur kopipustaka.com. Esais dan Penulis Fiksi ini lahir di Bandung, 16 Desember. Mencintai buku, penikmat kopi militan. Kopi yang paling disukainya adalah Kopi Manglayang Tjiliwidara dan kopi espreso. Tidak menyukai Kopi Susu.

Related posts

Tadi pagi mereka mencecap kopi priangan, yang menurut penulis buku enam ratus halaman itu sangat bersejarah. Kopi Priangan ditanam VOC, dan sudah mendunia yang dikenal sebagai Java. Tapi ia ragu bisa menyelesaikan buku berbentuk kumpulan esai itu, khawatir akan mengganggunya membaca novel juga fokus kuliahnya.

12 Desember 2020

Seperti Aroma, Asmara pun Ingin Dimengerti (2)


Read more
Ilustrasi Cerbung 1

Cowok Salju yang Mendirikan Cafe

4 Desember 2020

Seperti Aroma, Asmara pun Ingin Dimengerti (1)


Read more

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kopipustaka adalah spot belanja kopi dan narasi tentang kopi bagi para penikmat & pecinta kopi.

Link Halaman

  • New Products
  • About Our Shop
  • Konfirmasi Pembayaran
  • Cek Resi
  • Pustaka Kopi
  • Login
© 2020 Kopipustaka. All Rights Reserved. Rakitawebsite.com
    0

      Ingin Bertanya?